“Dengan segala sembah sujud kepada ibu, saya menyampaikan kepadamu bahwa nasib baik telah menyertai dalam seluruh perjalanan saya, tidak berbeda dengan di Magelang. Adapun alasan mengapa saya memberitahukan hal ini adalah agar ibu tidak sampai cemas memikirkan saya karena saya merasa sangat puas. Saya memercayakan semua cucu-cucu ibu ke tangan ibu. Terlebih lagi saya sendiri merasa betapa besar kesalahan saya terhadap ibu, lahir batin.
Semoga ibu mengampuni saya. Demikian juga halnya terhadap Yang Mulia, ayahanda saya, banyak juga kesalahan saya. Dengan demikian bila ada kesempatan, cucu-cucu ibunda harus menyampaikan kepada Yang Mulia ayahanda. Permohonan untuk kesalahan saya.”
Air mata menggenang dimata saya ketika membaca surat yang ditulis Pangeran Diponegoro untuk Ibundanya. Sobat Halokuningan.com dapat menemukan replika transkip surat Pangeran Diponegoro di Museum Sejarah Jakarta atau dikenal dengan Museum Fatahilah yang terletak di kawasan Kota Tua, Jakarta, yang diresmikan oleh Ali Sadikin, Gubernur Jakarta yang kala itu menjabat, di tanggal 30 Maret 1974.

Museum Sejarah Jakarta dulunya adalah kantor pengadilan dan bagian bawahnya merupakan penjara bawah tanah. Bagian atas adalah kamar kepala bui Belanda yang apabila ada tahanan pribumi yang mempunyai derajat yang lebih tinggi akan segera dikosongkan dan ditempati oleh tahanan pribumi berstatus ningrat tersebut. Pangeran Diponegoro salah satu tahanan yang ditempatkan disana pada periode antara 8 April hingga 3 Mei 1830.


“Saat saya naik Korvet Pollux jam delapan pagi hari Senin, 3 Mei 1830 dengan tiga kerabat dekat dan 16 pengikut, babak baru kehidupan saya dimulai. Kepergian dari Batavia menandai berakhirnya tiga tsunami besar dalam hidup saya.Tsunami pertama terjadi pada awal tahun 1793, ketika sebagai seorang anak kecil saya dibawa dari keputren keraton yogya untuk dibesarkan di Tegalrejo oleh nenek buyut saya yang kuat dan tegas. Pengalaman ini mengasah saya menjadi seorang pemimpin. Tsunami kedua terjadi pada Rabu, 20 Juli 1825, ketika Belanda menyerbu dan membakar habis kediaman saya, Tegalrejo. Peristiwa inilah yang mengawali perang jawa. Selama lima tahun saya terpaksa bertindak sebagai Ratu Adil dan Panglima perang sabil dengan semua penderitaan perang. Tsunami terakhir terjadi di Magelang pada 28 Maret 1830, ketika saya dikhianati dan ditangkap lalu dibuang ke pengasingan. Masing-masing tsunami merupakan rubicon, momentum yang tidak memiliki jalan kembali.


Gigihnya perjuangan Diponegoro walau berakhir pengkhianatan menjadi pelajaran kita semua. Terimakasih pahlawanku, semoga jiwamu syahid. Tidak ada yang sia-sia dari perjuanganmu.

Selain sejarah tentang Diponegoro, Sobat Halokuningan.com juga dapat mempelajari silsilah kerajaan Tarumanegara, Kerajaan Sunda, awal terbentuknya kota Jakarta serta waktu Indonesia mulai berinteraksi dengan kebudayaan Eropa.
Museum Sejarah jakarta menjadi tempat yang menarik dan edukatif, untuk biaya masuknya sekarang harus menggunakan kartu Jakarta dengan harga Rp. 35.000.


Note : Semua tulisan diatas dapat anda temukan di Museum Sejarah Jakarta, dan ditambah sedikit perspektif dari sisi penulis.
Salam Heritage
Mantap
LikeLike